Minggu, 15 April 2012

Ujian Mandiri


Ujian MandiriMenuai Keadilan dari UM

Oleh : Taat Rifani

Ujian Mandiri (UM) sebagai salah satu jalur masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih menuai kesenjangan karena biaya yang mahal, sehingga calon mahasiswa baru dari keluarga kurang mampu cendrung memilih Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sebagai jalur masuk PTN.

Biaya UM yang begitu mahal ternyata menjadi problem yang serius. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi calon mahasiswa dari kalangan ekonomi pas-pasan. Karena mereka kesulitan untuk masuk PTN melalui jalur ini, sehingga timbul kesan bahwa UM eksklusif bagi calon mahasiswa kaya saja.
Adanya Peraturan Pemerintah nomor 66 tahun 2010 yang mengharuskan semua perguruan tinggi negeri (PTN) dalam menjaring mahasiswa baru dengan ketentuan 60% melalui jalur SNMPTN dan 40% dari UM ternyata belum cukup mengurangi bahkan menghapus kesenjangan ini. Karena yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan harapan. PTN justru memanfaatkan regulasi 40% UM ini sebagai jalan untuk mandapatkan profit. Bahkan yang lebih parah lagi ada indikasi PTN menjaring mahasiswa baru sampai 70% lebih melalui jalur UM. Hal ini tentu  menyalahi PP nomor 66 dengan kata lain telah melanggar hokum yang telah ditentukan.
Komersialisasi UM juga menyalahi UU Sisdiknas pasal 5 ayat 1 Tahun 2003 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan sistem sekarang ini berarti kesempatan calon mahasiswa kurang mampu  belum mampu memperoleh kesempatan penuh untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Mereka masih terhalang dinding kuat biaya UM selangit yang sulit mereka tembus. Alhasil calon mahasiwa kurang mampu tidak bisa melanjutkan studinya yang mereka inginkan. Padahal sebenarya mereka punya potensi dan layak berada di perguruan tinggi sesuai yang mereka inginkan untuk mewujudkan cita-citanya.
Sungguh sangat disayangkan, karena potensi-potensi yang dimiliki mereka tidak dapat diaktualisasikan secara maksimal. Sehingga secara tidak langsung akan membunuh karakter pendidikan itu sendiri. Bahkan ironisnya, ini terjadi pada negeri ini yang notabene sedang gencar meningkatkan kualitas pendidikanya.

Komersialisasi
Memang bukan lagi rahasia umum jika  UM lebih mahal dibanding SNMPTN. Hal ini disebabkan karena UM mutlak dikelola PTN tanpa intervensi pemerintah. Disini PTN bebas  mengatur teknis dan mekanismenya secara independen, sehingga jalur ini sarat akan komersialisasi. Persaingan yang tidak sehat dalam jalur ini tidak bisa dielakan lagi. Karena jalur ini sendiri sangat jauh dari transparansi. Bahkan terkadang ada PTN yang seolah-olah mengkomersilkan jalur ini. Hal ini bukanya tanpa bukti, setiap tahun banyak PTN yang mempertimbangkan nominal uang dalam merekrut mahasiswa melalui jalur ini. Biasanya sebelum dilaksanakan ujian, pendaftar diharuskan mengisi blanko kesanggupan membayar uang pengembangan.
Memang salah satu sumber dana operasional PTN berasal dari sumbangan mahasiswa. Akan tetapi tidak seharusnya PTN semaunya dalam mematok dana sumbangan oleh mahasiswa. Bahkan menjadikan uang sebagai salah pertimbangan dalam penerimaan mahasiswa baru. Karena pada hakekatnya PTN bukan milik perorangan atau instansi tertentu. Melainkan milik negara yang diperuntukkan untuk memenuhi hajat rakyat dalam memperoleh pendidikan yang layak. Peran pemerintah sangat diperlukan untuk memantau bahkan ikut campur tangan agar semuanya berpihak kepada rakyat.
Oleh karenanya, perlu adanya perhatian yang serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah sebagai subjek terbesar. Setiap kebijakan yang dikeluarkan hendaknya berpihak kepada rakyat, baik itu kaya maupun miskin. Apalagi dalam masalah pendidikan yang akan menenentukan masa depan suatu bangsa. Karena jika kualitas pendidikan suatu negara baik, pasti negara tersebut akan mempunyai peradaban yang baik, karena pendidikan itu sangat penting. Bahkan Rupert C Ludge mengatakan ”Education is life and life is educaton”artinya pendidikan adalah hidup dan hidup adalah pendidikan.
Sedangkan untuk mengatasi problem ujian mandiri masuk perguruan tinggi yang tidak bisa dijangkau calon mahasiswa kurang mampu. Pemerintah harus secepatnya mencabut UM tanpa harus menunggu tahun depan. Seperti yang dikatakan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh di Surabaya, Jawa Timur Minggu (16/01/2011). Konskuensinya Pemerintah harus menambah dana bantuan kepada PTN. Karena dengan dihapuskanya UM otomatis akan mengurangi pemasukan untuk PTN. Dengan demikian kesempatan bagi calon mahasiswa baru semakin terbuka untuk melanjutkan di PTN tanpa mengurangi input untuk biaya operasionalnya.
Tidak sampai disini saja, Pemarintah perlu waspada. Alih-alih akan menghapus kesenjangan dalam pendidikan justru bisa jadi buah simalakama. Karena tidak menutup kemungkinan dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu Pemerintah dan juga masyarakat harus bersama-sama mengontrol dana bantuan dari pemerintah. Agar pendidikan kita dapat clean dari unsur-unsur KKN dan kastanisasi pendidikan.

Rabu, 11 April 2012

Pendidikan Seks

Pendidikan Seks
URGENSI PENDIDIKAN SEKS
Oleh: Taat Rifani
Seks bebas yang melanda remaja saat ini semakin massif, penyebabnya adalah kurangnya pemahaman mengenai seks yang benar, sehingga diperlu pendidikan seks untuk memberikan pemahaman kepada mereka dengan benar dan komprehensif.
Jika kita mendengar kata “seks”, maka yang terlintas dalam benak sebagian besar orang adalah hubungan seks  sehingga mereka menganggap bahwa hal itu merupakan suatu yang saru dan tabu. Padahal sebenarnya seks artinya jenis kelamin yang membedakan pria dan wanita secara biologis. Sungguh sangat ironis jika mindset yang seperti itu terus berkembang, bahkan telah menjadi sebuah keajegan di kalangan masyarakat.
Justifikasi yang terlanjur melekat dalam masyarakat bahwa seks itu tabu, justru sangat berbahaya. Karena mereka akan terhipnotis oleh rasa penasaran yang luar biasa, sehingga dapat membawa mereka kepada hal yang negatif. Terutama bagi para remaja yang sedang pada fase pubertas. Gejolak pencarian jati dirinya begitu tinggi, sehingga dikhawatirkan mereka akn mencari informasi melalui komoditi yang bersifat pornografi. Semisal VCD, majalah dan hal lain yang dapat menggiring mereka pada tindak asusila, seperti hubungan seks dan lainya.
Data hasil penelitian sebuah LSM tahun 2010 menyatakan bahwa 63 siswa SMP dan SMA sudah pernah berhubungan seks, 92 pernah berciuman, dan 97 pernah menonton porno (heniputra.com). Bahkan awal tahun 2011 ini dunia pendidikan kita dikejutkan dengan hasil penelitian Lip Wijayanto yang menyebutkan bahwa 97% mahasiswi disebuah kota pendidikan tidak perawan. Sekalipun validitas atau ketepatan angka prosentase diragukan, tetapi hal itu cukup menjadi bukti bahwa seks telah disalahgunakan justru oleh kebanyakan remaja yang belum saatnya melakukan.
Bahkan sangat disayangkan, hal semacam itu justru banyak terjadi pada kalangan muda terpelajar (siswa dan mahasiswa). Dengan kapasitasnya sebagai kaum intelektual, ternyata mereka masih rentan terhadap tindakan amoral. Hal itu memunculkan asumsi bahwa pendidikan kita belum sepenuhnya dapat mencapai tujuan sebagaiman yang tertuang dalam Undang-Undang RI yaitu menciptakan generasi yang berakhlak mulia. Maka sudah saatnya pendidikan kita berbenah diri agar menjadi lebih baik. Sistem pendidikan kita perlu direstorasi dengan inovasi-inovasi brilian, supaya pendidikan ini mampu mencapai tujuan seperti yang telah dicita-citakan.

Kurikulum sex education
Salah satu cara yang tepat adalah menerapkan kurikulum sex education (pendidikan seks) di lembaga-lembaga pendidikan. Hal yang harus diingat dalam mekanisme pelaksanaan kurikulum Sex Education,dalam konsep ini harus menjadi mata pelajaran (mapel) sendiri, bukan hanya sebagai mapel sisipan seperti yang dikatakan M. Nuh (Mendiknas). Dengan menjadi mapel sendiri, maka waktu pertemuan otomatis lebih banyak, sehingga lebih efektif karena peserta didik dapat memahaminya secara komprehensif.
Dalam kurikulum pendidikan seks mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan seks. Tidak hanya aspek biologis, tetapi ada juga aspek-aspek lain seperti sosial dan ekonomi. Hal itu perlu mengingat seks tidak hanya berkutat pada ranah biologis saja, melainkan ranah sosial, ekonomi, psikis dan lainya. Dan yang terpenting kurikulum seks tersebut dapat memberi pemahaman yang benar kepada remaja, supaya mereka tidak menyalahgunakan seks.
Selain itu agar pendidikan seks tidak mandul, maka perlu penerapan yang terintegrasikan dalam berbagai kegiatan diluar kurikulum. Sebagaiman kegiatan dalam OSIS yang dapat dicakup dalam Keputrian, Keputraan, Pesanteren kilat, Retreat dan lain sebagainya. Selain itu kegiatan dalam bentuk seminar, ceramah, symposium dan diskusi seperti Kespro, Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/ AIDS juga perlu.
Keberhasilan p`endidikan seks tidak semata-mata ditentukan oleh kurikulum saja, tetapi kelurga, masyarakat dan pemerintah juga ikut bertanggung jawab. Seperti halnya yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003, Pasal 6, Ayat 3 yang berbunyi “Setiap warga Negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Bahwa semua subyek yang ada mempunyai peran yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan, tidak terkecuali keluarga dan masyarakat.
Sekolah mempunyai keterbatasn waktu dan pengawasan, maka bimbingan keluarga dan kontrol masyarakat menjadi sangat penting. Apalagi dalam keluarga dan masyarakat sarat akan nilai-nilai agama. Sehingga dapat tercipta pendidikan seks yang tidak hanya how to do (bagaiman hubungan seks) yang aman, tetapi juga diberikan sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan seks yang bernuansa agama juga cukup penting dalam membentengi remaja dari bahaya seks bebas. Karena sejatinya remaja adalah aset bangsa yang sangat berharga. Seperti falsafah Arab “pemuda sekarang adalah pemuda yang akan datang”. Jadi pemuda adalah generasi penerus yang harus kita jaga dan kita bina dengan baik, agar menjadi generasi berkualitas yang dapat memajukan bangsa.